Sunday, January 10, 2016

TEKNOLOGI DETEKSI DINI MALARIA DI DAERAH TERPENCIL

Indonesia Bebas Malaria

Oleh : Gita Perdana

Tiga beban utama (triple burden) kesehatan nasional adalah adanya pergeseran demografi (meningkatnya jumlah penduduk lansia), meningkatnya penyakit tidak menular (stroke, jantung, diabetes, kanker, dan lain-lain), dan masih tingginya penyakit menular (infeksi). Indonesia yang merupakan negara tropis, malaria tetap menjadi salah satu penyakit menular utama khususnya di beberapa wilayah yang dinyatakan masih endemis terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena malaria masih merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian pada kelompok berrisiko tinggi yaitu bayi, balita, dan ibu hamil dan secara langsung dapat menurunkan produktivitas kerja. Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan, pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus.  Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006 sekitar 350.000 kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311.000 kasus.
Laporan WHO pada tahun 2005 menyebutkan, di seluruh dunia jumlah kasus baru malaria berkisar 300-500 juta orang dengan kematian 2,7 juta orang/tahun, sebagaian besar anak-anak di bawah lima tahun yang merupakan kelompok paling rentan terhadap penyakit dan kematian akibat malaria dengan jumlah negara endemis malaria pada tahun 2004 sebanyak 107 negara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang Tidak Diminati dijelaskan bahwa, Daerah Terpencil adalah daerah yang sulit dijangkau karena berbagai sebab seperti keadaan geografi (kepulauan, pegunungan, daratan, hutan dan rawa), transportasi, sosial, dan ekonomi.
Harijanto (2010) menuturkan, penyakit  malaria masih  endemis di beberapa wilayah. Umumnya di daerah malaria yaitu daerah-daerah terpencil yang sebagian penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Dari 200 lebih kabupaten /kota  yang  ada di  Indonesia, sebanyak 167 kabupaten / kota merupakan wilayah endemis  malaria. Daerah  dengan kasus  malaria tinggi  dilaporkan terbanyak  di kawasan  Indonesia,  antara  lain di Provinsi Papua, Nusa Tenggara  Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Dikawasan lainnya yang dilaporkan angka malaria masih cukup tinggi adalah di propinsi Kalimantan  Barat, Bangka Belitung, Sumatera  Selatan, Bengkulu  dan  Riau.
Menurut Prabowo (2004), malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.
Penularan malaria terjadi karena adanya interaksi antara agent (parasit Plasmodium spp),  host defenitive (nyamuk Anopheles spp) dan host intermediate (manusia) . Karena itu, penularan malaria dipengaruhi oleh keberadaan dan fluktuasi populasi vektor (penular yaitu nyamuk Anopheles spp), yang salah satunya dipengaruhi oleh intensitas curah hujan serta sumber parasit Plasmodium spp, atau penderita di samping adanya host yang rentan. Selain penularan secara alamiah, malaria juga bisa ditularkan melalui transfusi darah atau transplasenta dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Pembahasan dan diskusi yang dihadiri oleh Prof. dr. Emiliana Tjitra, M.Sc. Ph.D dari Badan Litbang Kemenkes, Dr. dr. Loeki Enggar Fitri, Sp.Par.K. dari Universitas Brawijaya dan Dr. Aty Widyawaruyanti, Msi.,Apt dari ITD Universitas Airlangga dan Dr. Agung Eru Wibowo, MSi., Apt dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika-BPPT di tahun 2013 terkait penatalaksanaan pengobatan malaria dikaitkan dengan meningkatnya efikasi klinis dan resistensi, potensi pengembangan diagnostik plasmodium, pengembangan fitofarmaka dan beberapa hasil penelitian terkait pathogenesis, resistensi, jalur metabolisme dan potensi target aksi obat baru serta upaya pengembangan vaksin telah dilaksanakan secara intensif. Aspek teknis tekonologi terkait jenis dan staging plasmodium yang banyak serta kompleksitas genetik plasmodium merupakan kendala utama dalam pengembangan vaksin.
Deteksi dini adalah usaha untuk mendeteksi penyakit atau kelainan, dengan menggunakan tes, pemeriksaan, atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat, benar-benar sehat dengan tampak sehat tetapi sesungguhnya menderita kelainan. Tujuan dari deteksi dini ini untuk menemukan secara dini, yaitu malaria yang masih dapat disembuhkan, untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria.
Dari beberapa jenis pemeriksaan laboratorium, yang dianggap paling baik sehingga dijadikan sebagai goal standard  pemeriksaan laboratorium malaria adalah pemeriksaan secara mikroskopis karena pemeriksaan berdasarkan mikroskopis mempunyai kelebihan yaitu bisa menentukan dengan tepat spesies serta stadium parasit Plasmodum spp termasuk kepadatannya.  Tetapi kadangkala hasil pemeriksaan mikroskopis tidak dapat dipercaya penuh sebagai dasar penegakan diagnosis terutama pada penderita yang telah diberi pengobatan atau profilaksis, karena obat anti malaria secara parsial dapat menyebabkan berkurangnya jumlah parasit sehingga berada di bawah ambang pemeriksaan mikroskop. Ini mengakibatkan pada pewarnaan sediaan darah hanya ditemukan sedikit parasit yang menggambarkan parasitemia yang rendah padahal pasen sedang menderita malaria berat.
Berikut adalah teknologi deteksi dini malaria yang dapat dimanfaatkan di daerah terpencil
1.      Memanfaatkan mikroskop cahaya dan cairan acridine orange
Peneliti dari Institut Penyakit Tropis, Universitas Airlangga, Indah S. Tantular, mengembangkan teknik deteksi malaria yang cepat, mudah, dan murah. Teknik deteksi ini didasarkan pada pengamatan ada tidaknya parasit malaria dalam darah manusia. Untuk mendukung teknik deteksi, mikroskop cahaya binokuler sedikit dimodifikasi. Sumber cahaya diganti dengan lampu halogen. Sementara itu, ditambahkan filter khusus untuk menyeleksi panjang gelombang dari lampu halogen sesuai yang diinginkan.
Untuk mendeteksi, cukup mengambil sampel darah dan membuat hapusan tipis pada kaca preparat mikroskop. lalu, tambahkan cairan acridine orange pada sampel, kemudian diamati. Parasit akan tampak berpendar. Bila dalam pengamatan mikroskop terdapat obyek berpendar dengan bentuk serupa cincin atau pisang, maka besar kemungkinan orang yang diambil sampel darahnya menderita malaria.
Teknik yang dikembangkan lebih murah dan mudah ditempatkan di wilayah endemik malaria. Biasanya harus pakai mikroskop fluoresens yang mahal dan besar serta besar potensi kerusakan alat deteksi, sehingga sulit dibawa ke daerah endemik.
2.      Tes Napas
Stephen Trowell dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) berhasil mengidentifikasi bio-marker dari penyakit malaria. Trowell menuturkan telah menemukan ada empat  unsur kimiawi saling terikat dan mengandung sulphur-atom, yang dalam jumlah banyak tentunya akan meninggalkan bau. Nah, penyakit malaria meningkatkan kadar unsur ini di dalam tubuh, sehingga sekecil apapun kuman yang masuk, unsur ini pasti akan melonjak tajam dan bisa terdeteksi karena memiliki bau. 
Kemudia Trowell menjelaskan bahwa apa yang sedang dikerjakannya ini dapat menjadi alternatif baru bagi deteksi penyakit malaria. Saat ini, deteksi malaria hanya dapat dilakukan dengan tes darah dan menurut Dr Trowell, tes darah sangat tidak praktis.
Tes darah membutuhkan laboratorium lengkap, yang akan sulit dimiliki oleh daerah-daerah terpencil tempat malaria masih menjadi endemis. Dengan tes napas, deteksi pun akan menjadi lebih praktis dan jangkauannya juga semakin luas.
3.      Malaria Observation Endemic Surveillance (MOSES)
MOSES adalah aplikasi yang menggabungkan teknologi client runtime dengan aplikasi di PDA untuk melakukan diagnosis dan analisis terhadap pasien yang didug terkena malaria secara cepat. Solusi ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang berada di daerah terpencil agar dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat.
Tim”Big Bang” ITB menciptakan sebuah virtual character. Petugas kesehatan dilengkapi dengan alat yang bernama PDAscope yang terdiri dari sebuah modiffikasi mikroskop plus PDA. PDAscope ini menyerupai sebuah mikroskop asli yang dibuat dengan bahan-ahan yang murah. Hal tersebut merupakan pertimbangan dari “Big Bang” atas faktor ekonomis pada implementasi solusi ini. PDAscope ini nantinya akan dapat menjadi alat pelengkap kamera yang berada pada PDA yang dapat meneropong sampel darah yang diambil dari yubuh pasien. Setelah PDA tersebut merekam hasil gambar tersebut, petugas kesehatan dapat mengirimkan gambar sampel darah tersebut ke pusat kesehatan yang berada pada lokasi yang jauh dari tempat tersebut.
Usaha preventif dan deteksi malaria penting untuk melindungi masyarakat dari penyakit malaria. Upaya  yang dapat masyarakat lakukan adalah meminimalisir resiko malaria. Usaha preventif dapat dilakukan mulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyrakat sekitar. Kesadaran masyarakat untuk peduli malaria juga harus ditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan efektif yang dapat dilakukan oleh pihak akademisi maupun tenaga medis. Perkembangan teknologi deteksi dini malaria terus berjalan demi mendapatkan keefektifan dan kemudahan bagi penderita malaria. Terutama masyarakat terpencil yang sangat minim mendapatkan fasilitas kesehatan. Semua upaya pemberantasan malaria bertujuan agar Indonesia bebas malaria [ ].


No comments:

Post a Comment