Tiga beban utama (triple
burden) kesehatan nasional adalah adanya pergeseran demografi
(meningkatnya jumlah penduduk lansia), meningkatnya penyakit tidak menular
(stroke, jantung, diabetes, kanker, dan lain-lain), dan masih tingginya
penyakit menular (infeksi). Indonesia yang merupakan negara tropis,
malaria tetap menjadi salah satu penyakit menular utama khususnya di beberapa
wilayah yang dinyatakan masih endemis terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini
disebabkan karena malaria masih merupakan penyakit menular yang dapat
menyebabkan kematian pada kelompok berrisiko tinggi yaitu bayi, balita, dan ibu
hamil dan secara langsung dapat menurunkan produktivitas kerja. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia menyatakan, pada tahun 2006 terdapat sekitar 2
juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus.
Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat
kuman malaria) tahun 2006 sekitar 350.000 kasus, dan pada tahun 2007 sekitar
311.000 kasus.
Laporan WHO pada tahun 2005
menyebutkan, di seluruh dunia jumlah kasus baru malaria berkisar 300-500 juta
orang dengan kematian 2,7 juta orang/tahun, sebagaian besar anak-anak di bawah
lima tahun yang merupakan kelompok paling rentan terhadap penyakit dan kematian
akibat malaria dengan jumlah negara endemis malaria pada tahun 2004 sebanyak
107 negara.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Kriteria Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil, dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang Tidak Diminati dijelaskan bahwa, Daerah Terpencil adalah daerah
yang sulit dijangkau karena berbagai sebab seperti keadaan geografi (kepulauan,
pegunungan, daratan, hutan dan rawa), transportasi, sosial, dan ekonomi.
Harijanto (2010) menuturkan,
penyakit malaria masih endemis di beberapa wilayah. Umumnya di
daerah malaria yaitu daerah-daerah terpencil yang sebagian penderitanya adalah
dari golongan ekonomi lemah. Dari 200 lebih kabupaten /kota yang
ada di Indonesia, sebanyak 167 kabupaten / kota merupakan wilayah
endemis malaria. Daerah dengan kasus malaria tinggi
dilaporkan terbanyak di kawasan Indonesia, antara lain
di Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku,
Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Dikawasan lainnya yang dilaporkan angka
malaria masih cukup tinggi adalah di propinsi Kalimantan Barat, Bangka
Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Riau.
Menurut Prabowo (2004), malaria
adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium,
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran
penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan
berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya
otak, hati dan ginjal.
Penularan malaria terjadi karena
adanya interaksi antara agent (parasit Plasmodium spp), host
defenitive (nyamuk Anopheles spp) dan host
intermediate (manusia) . Karena itu, penularan malaria dipengaruhi
oleh keberadaan dan fluktuasi populasi vektor (penular yaitu nyamuk Anopheles spp),
yang salah satunya dipengaruhi oleh intensitas curah hujan serta sumber
parasit Plasmodium spp, atau penderita di samping adanya host yang
rentan. Selain penularan secara alamiah, malaria juga bisa ditularkan melalui
transfusi darah atau transplasenta dari ibu hamil ke bayi yang
dikandungnya.
Pembahasan dan diskusi yang
dihadiri oleh Prof. dr. Emiliana Tjitra, M.Sc. Ph.D dari Badan Litbang
Kemenkes, Dr. dr. Loeki Enggar Fitri, Sp.Par.K. dari Universitas Brawijaya dan
Dr. Aty Widyawaruyanti, Msi.,Apt dari ITD Universitas Airlangga dan Dr. Agung
Eru Wibowo, MSi., Apt dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika-BPPT di tahun
2013 terkait penatalaksanaan pengobatan malaria dikaitkan dengan
meningkatnya efikasi klinis dan resistensi, potensi pengembangan diagnostik
plasmodium, pengembangan fitofarmaka dan beberapa hasil penelitian terkait
pathogenesis, resistensi, jalur metabolisme dan potensi target aksi obat baru
serta upaya pengembangan vaksin telah dilaksanakan secara intensif. Aspek
teknis tekonologi terkait jenis dan staging plasmodium yang banyak serta
kompleksitas genetik plasmodium merupakan kendala utama dalam pengembangan
vaksin.
Deteksi dini adalah usaha untuk
mendeteksi penyakit atau kelainan, dengan menggunakan tes, pemeriksaan, atau
prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk membedakan
orang-orang yang kelihatannya sehat, benar-benar sehat dengan tampak sehat
tetapi sesungguhnya menderita kelainan. Tujuan dari deteksi dini ini untuk
menemukan secara dini, yaitu malaria yang masih dapat disembuhkan, untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria.
Dari beberapa jenis pemeriksaan
laboratorium, yang dianggap paling baik sehingga dijadikan sebagai goal
standard pemeriksaan laboratorium malaria adalah pemeriksaan secara
mikroskopis karena pemeriksaan berdasarkan mikroskopis mempunyai kelebihan
yaitu bisa menentukan dengan tepat spesies serta stadium parasit Plasmodum spp
termasuk kepadatannya. Tetapi kadangkala hasil pemeriksaan mikroskopis
tidak dapat dipercaya penuh sebagai dasar penegakan diagnosis terutama pada
penderita yang telah diberi pengobatan atau profilaksis, karena obat anti
malaria secara parsial dapat menyebabkan berkurangnya jumlah parasit sehingga
berada di bawah ambang pemeriksaan mikroskop. Ini mengakibatkan pada pewarnaan
sediaan darah hanya ditemukan sedikit parasit yang menggambarkan parasitemia
yang rendah padahal pasen sedang menderita malaria berat.
Berikut adalah teknologi deteksi
dini malaria yang dapat dimanfaatkan di daerah terpencil
1. Memanfaatkan mikroskop cahaya dan cairan acridine
orange
Peneliti dari
Institut Penyakit Tropis, Universitas Airlangga, Indah S. Tantular,
mengembangkan teknik deteksi malaria yang cepat, mudah, dan murah. Teknik
deteksi ini didasarkan pada pengamatan ada tidaknya parasit malaria dalam darah
manusia. Untuk mendukung teknik deteksi, mikroskop cahaya binokuler sedikit
dimodifikasi. Sumber cahaya diganti dengan lampu halogen. Sementara itu,
ditambahkan filter khusus untuk menyeleksi panjang gelombang dari lampu halogen
sesuai yang diinginkan.
Untuk
mendeteksi, cukup mengambil sampel darah dan membuat hapusan tipis pada kaca
preparat mikroskop. lalu, tambahkan cairan acridine orange pada
sampel, kemudian diamati. Parasit akan tampak berpendar. Bila dalam pengamatan
mikroskop terdapat obyek berpendar dengan bentuk serupa cincin atau pisang,
maka besar kemungkinan orang yang diambil sampel darahnya menderita malaria.
Teknik yang
dikembangkan lebih murah dan mudah ditempatkan di wilayah endemik malaria.
Biasanya harus pakai mikroskop fluoresens yang mahal dan besar serta besar
potensi kerusakan alat deteksi, sehingga sulit dibawa ke daerah endemik.
2. Tes Napas
Stephen Trowell
dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO)
berhasil mengidentifikasi bio-marker dari penyakit malaria. Trowell menuturkan
telah menemukan ada empat unsur kimiawi saling terikat dan mengandung
sulphur-atom, yang dalam jumlah banyak tentunya akan meninggalkan bau. Nah,
penyakit malaria meningkatkan kadar unsur ini di dalam tubuh, sehingga sekecil
apapun kuman yang masuk, unsur ini pasti akan melonjak tajam dan bisa
terdeteksi karena memiliki bau.
Kemudia Trowell
menjelaskan bahwa apa yang sedang dikerjakannya ini dapat menjadi alternatif
baru bagi deteksi penyakit malaria. Saat ini, deteksi malaria hanya dapat
dilakukan dengan tes darah dan menurut Dr Trowell, tes darah sangat tidak
praktis.
Tes darah
membutuhkan laboratorium lengkap, yang akan sulit dimiliki oleh daerah-daerah
terpencil tempat malaria masih menjadi endemis. Dengan tes napas, deteksi pun
akan menjadi lebih praktis dan jangkauannya juga semakin luas.
3. Malaria
Observation Endemic Surveillance (MOSES)
MOSES adalah aplikasi yang
menggabungkan teknologi client runtime dengan aplikasi di PDA untuk melakukan
diagnosis dan analisis terhadap pasien yang didug terkena malaria secara cepat.
Solusi ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang berada di daerah terpencil
agar dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat.
Tim”Big Bang” ITB menciptakan
sebuah virtual character. Petugas kesehatan dilengkapi dengan alat yang bernama
PDAscope yang terdiri dari sebuah modiffikasi mikroskop plus PDA. PDAscope ini
menyerupai sebuah mikroskop asli yang dibuat dengan bahan-ahan yang murah. Hal
tersebut merupakan pertimbangan dari “Big Bang” atas faktor ekonomis pada
implementasi solusi ini. PDAscope ini nantinya akan dapat menjadi alat
pelengkap kamera yang berada pada PDA yang dapat meneropong sampel darah yang
diambil dari yubuh pasien. Setelah PDA tersebut merekam hasil gambar tersebut,
petugas kesehatan dapat mengirimkan gambar sampel darah tersebut ke pusat
kesehatan yang berada pada lokasi yang jauh dari tempat tersebut.
Usaha preventif dan deteksi
malaria penting untuk melindungi masyarakat dari penyakit malaria. Upaya
yang dapat masyarakat lakukan adalah meminimalisir resiko malaria. Usaha
preventif dapat dilakukan mulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyrakat
sekitar. Kesadaran masyarakat untuk peduli malaria juga harus ditingkatkan
melalui penyuluhan-penyuluhan efektif yang dapat dilakukan oleh pihak akademisi
maupun tenaga medis. Perkembangan teknologi deteksi dini malaria terus berjalan
demi mendapatkan keefektifan dan kemudahan bagi penderita malaria. Terutama
masyarakat terpencil yang sangat minim mendapatkan fasilitas kesehatan. Semua
upaya pemberantasan malaria bertujuan agar Indonesia bebas malaria [ ].
No comments:
Post a Comment