Saturday, January 9, 2016

VAKSIN ANTIHIPERTENSI SEBAGAI PENGOBATAN HIPERTENSI MASA DEPAN

Oleh : Gita Perdana

Hipertensi menjadi salah satu penyakit pembunuh diam-diam (silent killer) yang dikenal sebagai penyakit kardiovaskular. Meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Diseluruh dunia hampir satu milyar orang menderita tekanan darah tinggi (hipertensi). Menurut WHO (2011) dua per tiga penyakit hipertensi ini terjadi di Negara berkembang. Di tahun 2025 diperkirakan 1,56 milyar orang menderita hipertensi. Hipertensi mengakibatkan 8 juta orang meninggal setiap tahunya. Dan di Asia Tenggara 1,5 juta orang meninggal dunia akibat hipertensi. Kira-kira sepertiga populasi penduduk di asia tenggara mempunyai penyakit hipertensi. Hipertensi merupakan penyebab kematian ke-3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni  mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7%.
Menurut Ikeda (2014), penyumbang terbesar penyakit hipertensi di dunia adalah Amerika dengan prevalensi sebesar 83,9% pada tahun 2009-2010 terjadi pada umur 35-49 tahun. Di Indonesia, prevalensi hipertensi sebesar 25,8% terjadi pada usia ≥ 18 tahun. Penderita hipertensi yang paling banyak berasal dari kalangan menengah ke bawah yang tinggal di perkotaan dengan status pengangguran.
Menurut Rohman (2011) penyebab tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi sebanyak 53,2% adalah minum obat tidak teratur, keberhasilan suatu terapi tidak hanya dari ketepatan diagnosa, pemilihan dan pemberian obat yang tepat, namun kepatuhan pengobatan juga menjadi penentu keberhasilan. Khususnya untuk terapi jangka panjang pada beberapa penyakit kronis diantaranya hipertensi, kepatuhan sangatlah penting. Sebab ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup pasien itu sendiri. Mahalnya obat-obat untuk mengobati hipertensi tidak dapat ditanggung oleh masyarakat ekonomi lemah sehingga upaya - upaya mencari pengobatan alternatif mulai dilakukan.
Menurut Depkes RI (2006) hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmHg). Para ahli medis menetapkan bahwa 120 - 139/80 - 89 dikatakan sebagai prehipertensi. Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer (esensial) yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder (non esensial) yang diketahui penyebabnya.
Guyton (1993) menyatakan bahwa mekanisme pengaturan tekanan darah dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu pengaturan tekanan darah jangka pendek dan pengaturan tekanan darah jangka pendek. Pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh mekanisme ginjal cairan tubuh dan sistem renin angiotensin aldosteron. Pengaturan tekanan darah jangka pendek bekerja melalui saraf dengan pengaturan baroreseptor dan kemoreseptor pembuluh darah arteri.
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis (Dipiro, et al., 2008).
Obat Antihipertensi
1.             Diuretik
          Diuretik adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal.
2.             Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi)
          ACEi menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II  di dalam darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, enalapril, ramipril, lisinoril.


3.             Antagonis kalsium 
          Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah.
4.             Penghambat reseptor angiotensin (ARB)
          ARB bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya. Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus.
5.             Penghambat reseptor beta (ß blocker)
          Penghambat ß menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat ß adalah menghambat reseptor ß1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung.
6.             Penghambat reseptor alfa (a blocker)
          Reseptor a terdiri dari a1 dan a2. Reseptor a1 terdapat di jantung sedangkan reseptor a2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang berlawanan. Aktivasi dari reseptor a1 akan meningkatkan peningkatan senyawa katekolamin, yakni epinefrin, nor epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor a1 selektif.
7.             Agonis a2 sentral
          Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor a2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks baroreseptor.

Setiayaningsih (2007) menyatakan vaksin DNA dibuat dengan jalan menginsersikan gen pengkodean antigen yang bertanggung jawab menginduksi respon kekebalan dengan jumlah yang cukup untuk memproteksi, ke dalam vektor plasmid eukariot. Menurut Lorenzen dan Lapatra (2005) vaksin DNA memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah mudah dikembangkan, mudah diproduksi, tidak menimbulkan infeksi, bersifat stabil sehingga memudahkan dalam penyimpanan, serta mampu mengaktivasi sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler.
Para peneliti telah merancang vaksin DNA yang menargetkan angiotensin II. Hormon ini meningkatkan tekanan darah dengan menyebabkan pembuluh darah mengerut. Penyempitan ini dapat meningkatkan tekanan darah dan memaksa jantung bekerja lebih keras.
Dr. Hironori Nakagami (2015) mengatakan potensi vaksin hipertensi ini menawarkan pengobatan inovatif yang bisa sangat efektif untuk mengendalikan kepatuhan medis, yang merupakan salah satu masalah utama dalam penanganan pasien hipertensi. Vaksin DNA yang diciptakan bekerja mirip dengan obat penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE). Vaksin menargetkan angiotensin II, suatu hormon yang menyempitkan pembuluh darah dan mengakibatkan peningkatkan tekanan darah. Tekanan darah tinggi memaksa jantung untuk bekerja lebih keras.
Dalam studi Osaka, peneliti menggunakan suntikan tanpa jarum untuk menyuntik tikus yang mengalami hipertensi tiga kali dalam interval dua minggu. Vaksin itu mampu menurunkan tekanan darah tikus selama enam bulan dan mengurangi kerusakan jaringan ke jantung dan pembuluh darah, yang berhubungan dengan hipertensi. Para ilmuwan tidak menemukan tanda-tanda lain dari kerusakan organ, seperti di ginjal atau hati.
Harapan pemanfaatan vaksin antihipertensi adalah meningkatkan kepatuhan medis pasien dan mencapai tekanan darah yang ideal. Penelitian lebih lanjut pada platform vaksin DNA ini, termasuk meningkatkan jangka waktu penurunan tekanan darah, pada akhirnya dapat memberikan pilihan terapi baru untuk mengobati pasien hipertensi yang lebih efektif dan efisien.



DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2006).  Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dipiro, T.J., Talbert,L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan Posey, M.L. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: Mc Graw Hills Company. Hal. 141-142.
Guyton, A.C. (1993). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ketujuh. Jakarta: EGC Kedokteran. Hal. 288-339.
Hiroshi Koriyama, Hironori Nakagami, Futoshi Nakagami, Mariana Kiomy Osako, Mariko Kyutoku, Munehisa Shimamura, Hitomi Kurinami, Tomohiro Katsuya, Hiromi Rakugi, and Ryuichi Morishita. Long-Term Reduction of High Blood Pressure by Angiotensin II DNA Vaccine in Spontaneously Hypertensive Rats. Hypertension, May 2015 DOI:10.1161 / HYPERTENSIONAHA. 114. 04534.
Lorenzen, N. and S.E. Lapatra. 2005. DNA vaccine for aquaculture fish. Rev. Sci. Tech. Int. Epiz. 24 (1):201-213.
Setiyaningsih, Surachmi (2007). Pengembangan Vaksin dari Isolat Lokal Virus Avian Influenza. KKP3PT.

No comments:

Post a Comment